P-Value

Minggu, September 13, 2009

P value atau probabilitas dihitung adalah perkiraan probabilitas menolak hipotesis nol(H0) dari pertanyaan studi ketika hipotesis benar. Hipotesis nol biasanya merupakan hipotesis "ada perbedaan" misalnya tidak ada perbedaan antara tekanan darah dalam grup A dan grup B. Tentukan hipotesis null studi untuk setiap pertanyaan dengan jelas sebelum memulai studi Anda.

Satu-satunya situasi di mana Anda harus menggunakan nilai P satu sisi adalah ketika sebuah perubahan besar dalam arah yang tidak terduga akan sama sekali tidak ada relevansinya dengan riset Anda. Situasi ini tidak biasa, jika anda merasa ragu-ragu kemudian menggunakan nilai P dua sisi.

Istilah tingkat signifikansi (alfa) digunakan untuk merujuk kepada pra-probabilitas dipilih dan istilah "nilai P" digunakan untuk mengindikasikan kemungkinan bahwa anda menghitung setelah studi tertentu.

Download Gratis => klik di sini


Read More..

Korelasi Product-Moment Pearson

Rabu, September 09, 2009

Dalam statistika, koefisien korelasi produk-momen Pearson/Pearson Product-Moment Correlation Coefficient (kadang-kadang disebut sebagai PMCC, dan biasanya dilambangkan dengan r) adalah ukuran korelasi (linear) antara dua variabel X dan Y, memberi nilai secara inklusif antara 1 dan -1.

Secara luas digunakan dalam ilmu pengetahuan sebagai ukuran kekuatan linear antara dua variabel. Pertama kali diperkenalkan oleh Francis Galton pada 1880-an, dan dinamai Karl Pearson. Koefisien korelasi kadang-kadang disebut "Pearson's r."

Download Gratis => klik di sini

Read More..

Korelasi Spearman’s Rho

Sabtu, Juli 11, 2009

Korelasi yang paling banyak digunakan untuk dua variable ordinal atau variable ordinal dan variable interval adalah korelasi Spearman’s Rho.

Download Gratis => klik di sini


Read More..

Konversi Z-Score dari Korelasi r – Pearson

Kamis, Juli 09, 2009

Koefisien korelasi dapat ditransformasikan kedalam bentuk z-score untuk kebutuhan dalam pengujian hipotesis. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan rumus :


Rumus diatas sering juga disebut Fisher’s z-score transformation of Pearson’s r.

Contoh :
Misalkan kita memilik r = 0,3 maka z-score adalah :


Download file



Read More..

Cluster Analysis (K - Mean Cluster)

Selasa, Juli 07, 2009

Pendahuluan

Analisis Klaster pada prinsipnya bertujuan untuk mengalokasikan sekelompok individu pada suatu kelompok-kelompok yang saling bebas sehingga individu-individu di dalam kelompok itu mirip satu dengan yang lain, sementara itu individu-individu di dalam kelompok yang berbeda tidak mirip. Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai sehubungan dengan dilakukannya analisis multivariate ini melalui analisis klaster. Analisis Klaster dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu Hirarki Klaster dan K-Means Klaster. Pengklasteran dengan menggunakan analisis K-Means Klaster dapat dilakukan apabila data sampelnya banyak (> 200).

Dalam Analisis K-Means Klaster ini kita dapat mengelompokkan data ke dalam bagian jumlah klaster. Disini sebenarnya bebas untuk menentukan berapa klaster yang akan dibentuk, walaupun dalam praktek biasanya akan dibuat dua sampai empat klaster, akan tetapi agar bisa dipertanggungjawabkan secara statistik dalam penentuan jumlah sampel sebelum melakukan K-Mean Kluster kita dapat menghitung terlebih dahulu menggunakan Analisis Kluster - Hierarchical.

Download Gratis => klik di sini


Read More..

Cluster Analysis - Hierarchical

Analisis Kluster dilakukan untuk mengelompokkan objek-objek berdasarkan karakteristik yang dimiliki. Teknik ini dimasukkan ke dalam multivariate, akan tetapi konsep variat dalam teknik ini berbeda dari konsep multivariate lainnya. Dimana pada konsep multivariate, variat diartikan sebagai kombinasi linier berbagai variable, sedangkan dalam analisis Kluster, variat diartikan sebagai sejumlah variable (yang dianggap sebagai karakteristik) yang digunakan untuk membandingkan sebuah objek dengan objek lainnya. Jadi dalam analisis Kluster tidak dilakukan pencarian nilai variat secara empiris, sebagaimana pada teknik-teknik multivariate lainnya.

1.Tujuan Dasar
Tujuan utama analisis Kluster adalah untuk menempatkan sekumpulan objek ke dalam dua atau lebih grup berdasarkan kesamaan-kesamaan objek atas dasar berbagai karakteristik. Melalui prinsip homogenitas grup, menurut Hair, et al., terdapat 3 sasaran yg tersedia bagi peneliti, yaitu :

1)Deskripsi taksonomi (taxonomy description).
Dengan taksonomi kita dapat mengelompokkan sekumpulan objek secara empiris.

2)Simplikasi data (data simplication).
Dengan taksonomi, yang kita peroleh memang grup. Akan tetapi berdasarkan struktur yang diperoleh, kita juga bisa menjelaskan profil setiap grup berdasarkan karakteristik umum yg dimiliki. Kalau dalam analisis faktor menjelaskan ”dimensi” yang mendasari jumlah variabel, dengan analisis Kluster kita juga dapat melakukan hal yang sama, yaitu dimensi yang mendasari sejumlah observasi yang berada dalam suatu Kluster.

3)Identifikasi hubungan (relationship identification).
Setelah Kluster terbentuk dan struktur data yang mendasarinya diperlihatkan dalam Kluster, peneliti mendapat informasi tentang hubungan antar observasi yang tidak mungkin diperoleh dengan analisis observasi secara individu. Bahkan secara kualitatif hubungan tersebut bisa juga diidentifikasi.

Download Gratis => klik di sini


Read More..

Beberapa jenis skala kuesioner yg menghasilkan data nominal

Jumat, Juni 26, 2009

I. Skala Dikotomi atau Skala Guttman

Skala ini hanya menyediakan dua pilihan jawaban, misalnya ya – tidak, baik – jelek, pernah – belum pernah, dll. Oleh karena itu data yang dihasilkan adalah data nominal.

Karena membutuhkan jawaban yang tegas maka skala ini tidak menyediakan pilihan netral atau ragu-ragu, oleh karena itu skala ini sebenarnya kurang halus dalam merepresentasikan jawaban responden. Walaupun demikian ada kalanya peneliti memang membutuhkan jawaban yg tegas.

Contoh :

Apakah anda mempertimbangkan kembali untuk membeli produk x ?
a. Ya
b. Tidak

Apakah anda pernah mengkonsumsi/membeli produk x ?
a. pernah
b. tidak/belum pernah

dll.

II. Skala Multiple Choice Single Response

Ketika seorang peneliti dihadapkan pada banyak pilihan dan responden diminta untuk memilih salah satu saja, maka sebaiknya menggunakan skala Multiple Choice Single Response. Idealnya adalah seluruh pilihan tersedia. Jika tidak maka dapat diberikan pilihan terbuka (yaitu lainnya), hanya alternatif-alternatif yang tersedia, menurut Cooper dan Schindler,2003 harus mencakup minimal 90% dari seluruh pilihan yang dipilih.

Contoh :

Pasta gigi apa yang paling sering anda beli ?
□ Pepsodent
□ Close Up
□ Enzim
□ Formula
□ ABC
□ Lainnya, yaitu _________________________

III. Skala Multiple Choice Multiple Response

Bentuk lain dari skala di atas adalah skala Multiple Choice Multiple Response, yaitu menyediakan banyak pilihan dan responden bebas memilih satu, dua, beberapa atau semua pilihan. Kedua jenis skala ini menghasilkan data nominal.

Contoh :

Factor apa yang menjadi pertimbangan anda untuk memilih sebuah merk rokok ?
□ Harga
□ Desain kemasan
□ Rasa
□ Bentuk dan ukuran batang
□ Keberadaan di toko/warung
□ Iklan
□ Lingkungan
□ Aroma
□ Pabrik pembuatnya

Download Gratis => klik di sini

Read More..

Analisis Regressi dengan Operasi Matriks menggunakan Excell

Model regresi linear multiple dengan p variable terdiri dari variabel tak bebas Y dan variable bebas X1, X2, …, Xp dapat ditulis dalam sebuah persamaan sbb :




Model diatas disebut dengan model populasi, sedangkan model sampelnya adalah :




Untuk menentukan model persamaan di atas masukkan matrix X dan Y ke dalam perhitungan rumus :





berarti kita membutuhkan matrix sbb :

1. X dan Y
2. Xtranspose => (XT)
3. Xtranspose X => (XTX)
4. Xtranspose Y => (XTY)
5. (Xtranspose X)inverse =>(XTX)-1
6. (Xtranspose X)inverse (Xtranspose Y) =>(XTX)-1(XTY)

Untuk lebih detail dapat di download gratis => klik di sini

Read More..

Cara membuat Daftar Distribusi Frekuensi

Sabtu, Juni 20, 2009

Daftar distribusi frekuensi adalah jika data kuantitatif dibuat menjadi beberapa kelompok berdasarkan suatu kaidah-kaidah tertentu, maka akan diperoleh daftar distribusi frekuensi. Contoh :


Sebelum kita mempelajari bagaimana cara membuat daftar ini akan dijelaskan beberapa istilah yang digunakan.

  • Kelas interval : kelompok banyaknya obyek berbentuk a – b. Urutan kelas interval disusun mulai dari data terkecil sampai terbesar. Berturut-turut mulai dari atas diberi nama kelas interval pertama, kelas interval kedua, dst. Berada pada kolom sebelah kiri/pertama.
  • Ujung bawah : bilangan-bilangan di sebelah kiri kelas interval. Contoh : 17, 21, 25, …, 33
  • Ujung atas : bilangan-bilangan di sebelah kanan kelas interval. Contoh : 20, 24, 28, …, 36
  • Panjang kelas interval (p) : selisih positif antara tiap dua ujung bawah yang berurutan. Contoh : p = 21 – 17 = 4
  • Batas atas kelas interval : ujung atas kelas interval ditambah ½ (ujung bawah kelas interval dibawahnya – ujung atas kelas interval tsb). Contoh : batas atas kelas interval ke-4 => 32 + ½ (33-32) = 32 + 0,5 = 32,5
  • Batas bawah kelas interval : ujung bawah kelas interval ditambah ½ (ujung bawah kelas interval tsb – ujung atas kelas interval di atasnya). Contoh : batas bawah kelas interval ke-4 => 29 - ½ (29-28) = 29 - 0,5 = 28,5
  • Tanda kelas interval : suatu nilai yang mewakili kelas interval. Rumusnya yaitu ½ (ujung bawah + ujung atas).
Lebih lengkapnya download gratis klik disini

Read More..

Sejarah Teori Peluang dan Statistika

Jumat, Juni 19, 2009

Teori peluang awalnya diinspirasi oleh masalah perjudian. Awalnya dilakukan oleh matematikawan dan fisikawan Itali yang bernama Girolamo Cardano (1501-1576). Cardano lahir pada tanggal 24 September 1501. Cardano merupakan seorang penjudi pada waktu itu. Walaupun judi berpengaruh buruk terhadap keluarganya, namun judi juga memacunya untuk mempelajari peluang.

Dalam bukunya yang berjudul Liber de Ludo Aleae (Book on Games of Changes) pada tahun 1565, Cardano banyak membahas konsep dasar dari peluang yang berisi tentang masalah perjudian. Sayangnya tidak pernah dipublikasikan sampai 1663. Girolamo merupakan salah seorang dari bapak probability. Di bukunya Cardano menulis tentang permasalahan peluan, yaitu:

- Jika 3 buah dadu dilempar bersamaan sebanyak 3 kali, berapa peluang untuk mendapatkan mata dadu minimal 1,1 pada setiap lemparan.
- Jika 2 buah dadu dilempar bersamaan sebanyak 3 kali, berapa peluang untuk mendapatkan mata dadu 1,1 paling sedikit dua kali.

Pada tahun 1654, seorang penjudi lainnya yang bernama Chevalier de Mere menemukan sistem perjudian. Ketika Chevalier kalah dalam berjudi dia meminta temannya Blaise Pascal (1623-1662) untuk menganalisis sistim perjudiannya.

Pascal menemukan bahwa sistem yang dipunyai oleh Chevalier akan mengakibatkan peluang dia kalah 51 %. Pascal kemudian menjadi tertarik dengan peluang, dan mulailah dia mempelajari masalah perjudian. Dia mendiskusikannya dengan matematikawan terkenal yang lain yaitu Pierre de Fermat (1601-1665). Mereka berdiskusi pada tahun 1654 antara bulan Juni dan Oktober melalui 7 buah surat yang ditulis oleh Blaise Pascal dan Pierre de Fermat yang membentuk asal kejadian dari konsep peluang.

Blaisé Pascal bekerjasama dengan Fermat menyelesaikan soal-soal yang diberikan oleh Chevalier de Mere, diantaranya:

- Berapa kali kita harus melemparkan dua buah dadu, sehingga minimal separuh mata dadu yang muncul keduanya angka 6.
- Dalam permainan dadu, dadu dilempar sebanyak 8 kali, permainan berakhir bila seorang gagal mendapat mata dadu 1 sebanyak tiga kali.
- Probleme des partis (Problem of Point). Dua pemain judi P1 dan P2 sepakat untuk bermain “fair games” sampai salah satu dari mereka menang dengan nilai tertentu dari N kali permainan. Permainannya tiba-tiba dihentikan. P1 menang N1 kali permainan dan P2 menang N2 permainan. Bagaimana seharusnya membagi taruhannya? Pada awalnya Pascal mempunyai rencana untuk menulis karya tentang problema of point ini atau yang disebut aleae geometría tetapi tidak pernah menulisnya,
- Dua orang melempar sebuah mata uang logam secara bergantian, setiap muncul muka orang pertama akan memperoleh 1 point, bila yang muncul adalah belakang maka pemain kedua yang mendapat 1 point. Jika orang pertama sudah mendapat 100 point maka orang tersebut akan mendapat uang $1000. Bila pemain pertama mempunyai 100-m point, dan pemain kedua mempunyai 100- n point , berapa peluang pemain pertama akan menang

Di awal tahun 1656, Christiaan Huygens menulis naskah Van Rekeningh in Spelen van Geluck . Van Rekeningh in Spelen van Geluck adalah risalat singkat terdiri dari 15 halaman, yang kemungkinan didasarkan atas apa yang dilihat Huygen selama dia menetap di paris pada tahun-tahun sebelumnya tentang surat menyurat antara Pascal dan Fermat.

Pada bentuk akhirnya, tulisan ini memuat 14 masalah (Voorstellen) dengan solusi atau buktinya dan 5 masalah yang harus diselesaikan oleh pembaca. Lima masalah terakhir adalah sebagian dari masalah Fermat dan Pascal. Masalah terakhir dari kelima masalah tersebut pada akhirnya dikenal sebagai “Gambler’s ruin” dan bagian-bagian dari surat menyurat Pascal dan Fermat yang di terbitkan pada tahun 1656. Pada tahun 1709 Jaques (Jacob) Bernoulli menulis buku Ars Conjectandi, yang terdiri 5 bagian, yaitu:
- Menulis lagi Liber de Ludo Aleae (Book on Games of Chance) karya Cardano
- Permutasi dan Kombinasi
- Distribusi Binomial dan Multinomial
- Teori Peluang
- Law Large Number (Hukum Bilangan Besar. Jaques (Jacob) Bernoulli adalah orang yang pertama mengenalkan hukum bilangan besar (LLN). Dia mengerjakan dan mengembangkannya selama lebih dari 20 tahun, dan mempublikasikannya pada Ars Conjectandi (The Art of Conjecturing) pada tahun 1713.

Dia menamakannya dengan teorema keemasan yang kemudian lebih dikenal dengan teorema Bernoulli. S.D Poisson menamakannya dengan La loi des Grand Nomber (The law Large Number). Setelah Bernoulli dan Poisson mempublikasikan LLN, maka matematikawan lainnya yang mengembangkan LLN adalah Chebysev, Markov, Borel, Cantelli dan Kolmogorov. Mereka menghasilkan apa yang kita kenal dengan Weak law Large Number dan Strong Large Number.


Law Large Number (LLN)
Hukum bilangan besar (LLN) adalah teorema pada peluang yang menggambarkan stabilitas yang lama dari suatu variable random. Jika kita diberikan suatu sample random dari variable random yang identik dan independent (iid) dengan mean dan variannya finite, maka rata-rata sample akan mendekati rata-rata populasi.

Misalnya ketika kita melempar mata uang logam, maka frekuensi munculnya angka atau gambar akan mendekati 50 %, perbedaan frekuensi munculnya angka atau gambar tidak besar, contohnya kita akan mendapat munculnya angka sebanyak 520 kali dalam 1000 lemparan, dan 5096 kali dalam 10000 kali lemparan.

Kemudian pada tahun 1711, Abraham de Moivre yang lahir di French Hugesenot pada tanggal 26 Mei 1667, dan wafat di London 27 November 1754 , menerbitkan buku yang berjudul Doctrine of Chances, yang diantaranya memuat Ars Conjectandi. Selain memuat Ars Conjectandi, buku ini juga memuat mengenai teori dari permutasi dan kombinasi yang berpangkal dari probabilitas,

contohnya:
Diketahui dari huruf-huruf a,b,c,d,e,f diambil dua huruf, maka peluang terambilnya huruf pertama adalah 1/6, peluang terambilnya huruf kedua adalah 1/5. Jadi peluang terambilnya dua huruf tersebut adalah (1/6)(1/5) = 1/30.

Selain itu karya de Moivre adalah teorema limit pusat dan distribusi normal. Abraham de Moivre adalah orang yang pertama memperkenalkan distribusi normal pada tahun 1737, kemudian ditulis ulang pada tahun 1738 dengan judul The Doctrine of Chances, yang membahas pendekatan distribusi binomial untuk n yang besar.

Hasil ini diperluas oleh Laplace dalam buku Analytical Theory of Probabiliteis pada tahun 1812, yang sekarang dikenal dengan teorema De Moivre-Laplace. Laplace menggunakan distribusi normal untuk menganalisis percobaannya. Karena grafik probalitasnya mirip lonceng maka Jouffret pada tahun 1872 memberi nama kurva lonceng (bell curve) .

Nama distribusi normal diberikan oleh S.Pierce, Francis Galton dan Wilhelm Lexis pada tahun 1875. Sejarah dari teorema limit pusat adalah sangat menarik, teorema ini dirumuskan pertama kali oleh Abraham de Moivre pada tahun 1733. Moivre menggunakan distribusi normal untuk memperkirakan banyaknya muncul muka (head) pada pelantunan mata uang.

Penemuan ini hampir terlupakan, sebelum akhirnya matematikawan Perancis yang bernama Pierre Simon Laplace mengenalkannya dalam tulisan Theorie Analytique des Probabilities, yang dipublikasikan pada tahun1812. Laplace memperkirakan distribusi dari orbit komet dengan distribusi binomial.

Pada abad ke 19 teorema limit pusat dirumuskan secara umum dan dibuktikan oleh matematikawan Rusia yang bernama Aleksander Lyapunov.

Berbeda dengan sejarah peluang yang berawal dari sebuah perjudian, statistika berawal dari kegiatan pengumpulan data yang dilakukan oleh John Graunt di Eropa pada tahun 1662, hal ini merupakan awal munculnya statistika deskriptif.

Penggunaan istilah statistika berakar dari istilah- istilah dalam bahasa latin modern statisticum collegium (dewan negara) dan bahasa Italia statista (negarawan atau politikus). Pada tahun 1749 Gottfried Achenwall menggunakan Statistika dalam bahasa Jerman untuk pertama kalinya sebagai nama bagi kegiatan analisis data kenegaraan, dengan mengartikannya sebagai ilmu tentang Negara (state). Pada awal abad ke-19 telah terjadi pergeseran arti menjadi “ilmu mengenai pengumpulan dan klasifikasi data“.

Nama dan pengertian statistik pertama kali diperkenalkan dalam bahasa Inggris oleh Sir John Sinclair . Jadi statistika secara prinsip mula-mula hanya mengurus data yang dipakai lembaga-lembaga administrasif dan pemerintahan. Pengumpulan data terus berlanjut, khususnya melalui sensus yang dilakukan secara teratur untuk memberi informasi kependudukan yang berubah setiap saat.

Pada tahun yang sama juga, tahun 1662 John Graunt mulai menerbitkan karya miliknya yaitu Observation on the bills of mortality. John Graunt merupakan orang pertama yang menyingkat data ke dalam tabel. Dia juga membicarakan tentang reliabilitas data. John Graunt pula orang pertama yang mendemonstrasikan secara statistik bahwa jumlah dari pria dan wanita mendekati sama dan perbandingan jenis kelamin pada saat kelahiran stabil. Dia adalah orang pertama yang membentuk tabel hidup, yang membentuk kajian tentang asuransi jiwa secara matematik. Dari data yang terkumpul tersebut juga memicu lahirnya teknik pentabelan yang dilakukan oleh Edmon Halley pada tahun 1693.

Seiring dengan perkembangan tori-teori probabilitas antara tahun 1713 – 1812, Galton yang semasa hidupnya menghasilkan 340 lebih tulisan dan buku, mempelajari fenomena korelasi dan regresi terhadap nilai rata-rata dan nilai tengah dan menggunakan metode statistik untuk mempelajari perbedaan pada sifat manusia dan warisan kecerdasan dengan menggunakan daftar pertanyaan-pertanyaan.

Penemuan-penemuan tersebut memicu lahirnya statistika inferensial yang diawali oleh Pearson pada tahun 1900 dengan Chi Square Test. Selain Chi Square Test, dengan menggunakan korelasi dan regresi linear, Pearson membuat model 3 dimensi sebagai model pengumpulan data dalam penelitian di Departemen Sains Statistik. Selain itu juga Pearson menggunakan distribusi probabilitas sebagai dasar untuk teori statistic modern.

Seorang kimiawan muda William Gosset atau yang lebih dikenal dengan panggilan “student” menggunakan ketidak cocokan penggunaan kurva normal untuk ukuran sampel kecil. Bersama seorang professor, ia merumuskan penemuannya pada tahun 1908. Ia menyebutnya dengan distribusi “student”.

Penemuannya kurang mendapat perhatian terkecuali setelah dimasukkan ke dalam buku ajar statistika modern yang pertama yang ditulis oleh Sir Ronald Fisher 20 tahun kemudian. Pada tahun 1925, Fisher mempublikasikan buku yang berjudul Statistical Methods for Research Workers. Di buku tersebut, Fisher menuliskan mengenai ANAVA.

Sekitar tahun 1943-1946 penemuan-penemuan baru muncul seperti yang diperkenalkan oleh Cramer dan M. G Kendall yang mengkaji metode non parametric dengan menggunakan statistika inferensi. Satatistika non parametric muncul karena kebutuhan berdasarkan syarat yang tidak terpenuhi oleh statistika parametric.

Pada tahun 1945 Frank Wilcoxon menemukan satu uji, yang kemudian lebih dikenal dengan uji Wilcoxon.

Pada periode tahun 1950-1980 cakupan mengenai teori peluang dan statistic meningkat dengan munculnya bidang baru seperti teori antrian. William Feller mengembangkan topik-topik statistic tingkat lanjut seperti rantai markov.

Pada tahun 1950, Rudolf Carnap menerbitkan risetnya yang berjudul Logical Fondation of Probabity yang berisi derajat informasi (degree of confirmation) dan frekuensi relatif. W.Edward Deming meneliti tentang kualiti control dan banyak perusahaan mengambil metode ini.

Austin Bradford Hill mengembangkan statistik pada bidang kesehatan dan epidemiologi. Bradford mempelopori trial klinik random dan mendemonstrasikan hubungan antara kebiasaan merokok dengan penyakit kangker paru-paru. Quetelet mengaplikasikan teori peluang pada sensus.

Semenjak tahun 1970 keuangan menjadi bagian penting dari penerapan teori peluang. Ito mengembangkan kalkulus stokastik pada tahun 1940 dan diterapkan pada model Black-Scholes. Black dan Scholes memenangkan hadiah nobel pada bidang ekonomi.

Periode tahun 1980an ditandai dengan mulainya penggunaan komputer dalam mengolah data statistik, dengan menggunakan komputer kita dapat menghemat waktu dalam mengolah data statistik, dan muncul aktifitas baru yang berkenaan dengan statistic. Tabel statistik menjadi lebih mudah dihasilkan, data yang besar dapat dengan mudah dianalisis secara mendalam dan lengkap.

Pada awal abad ke 20 ketika Student(1908) menulis tentang distribusi normal dan Yule (1926) tentang korelasi, mereka menggunakan sampling dan berfaedah dalam menghasilkan tabel, dengan komputer menerapkan percobaan Montecarlo menjadi mungkin.
Percobaan montecarlo adalah cara standar untuk menyelidiki tingkah laku yang finit pada prosedur statistik. Semenjak tahun 1980 metode montecarlo sudah digunakan secara luas. Walker menekankan statistic pada spikologi dan pendidikan.

Demikian uraian singkat tentang sejarah Peluang dan Statistika dalam Matematika. Tulisan ini hanya memberikan gambaran secara umum tentang sejarah lahir dan berkembangnya teori peluang dan statistika beserta tokoh-tokohnya. Semoga uraian singkat ini dapat memberikan gambaran umum tentang hubungan antara peluang dan statistika. Semoga dengan mengatahui sejarah dan tokoh-tokoh yang berperan dalam mengembangan konsep peluang dan statistika dapat membangkitkan minat dan motivasi untuk mempelajari dan mengembangkan teori peluang dan statistika ini.

Read More..

Indeks Al Qur'an

Sabtu, Juni 13, 2009

Dalam hidup ini kita sebagai umat manusia memang diwajibkan untuk mempelajari ilmu duniawi dengan baik, akan tetapi jika kita melupakan mempelajari ilmu yang lebih tinggi derajatnya yaitu ilmu agama maka kita hanya akan mendapatkan dunia.

Berikut ini kami sampaikan Indeks Al Qur'an dalam bentuk Excell. Dapat mempermudah kita dalam mempelajari dan mendalami Al Qur'an. Semoga tidak hanya dunia saja yg kita dapatkan tetapi kehidupan kekal di akhirat nanti pun kita dapatkan. Amin.

Download gratis klik disini



Read More..

Methods Successive Interval (MSI)

Selasa, Juni 02, 2009

Sering kali ditemukan persyaratan dalam suatu analistika bahwa skala pengukuran sekurang-kurangnya adalah Interval. Ada dua metode yang dapat dilakukan oleh sorang peneliti yaitu pertama, menyesuaikan bentuk alat ukur/kuesioner memiliki skala interval, namun hal ini terkadang terbentur pada keterbatasan bentuk kuesioner. Oleh karena ada cara kedua yaitu menaikkan (mentransformasikan) data ke dalam skala interval (khusus untuk ordinal menjadi interval). Salah satu metode untuk menaikan skala ordinal menjadi interval yaitu dengan menggunakan Methods Successive Interval (MSI).




Untuk lebih detail => klik disini (via Sharecash) or klik disini (via Ziddu)


Read More..

Analisis Faktor dan Contoh Perhitungan

Sabtu, Mei 30, 2009

Analisis faktor adalah alat analisis statistik yang dipergunakan untuk mereduksi/mengurangi data (data reduction) dengan meminimalkan informasi yang hilang atau untuk mendeteksi struktur hubungan antar variabel.

Mereduksi Data (Data Reduction)

Dengan menggunakan analisis factor, kita dapat menemukan factor-faktor (disebut juga dimensi ataupun komponen) yang dapat mewakili variable-variabel yang asli. Misalkan kita memiliki 15 variabel yang mempengarungi persepsi konsumen. Ke-15 variabel ini dapat dijadikan menjadi beberapa factor baru yang mewakili ke-15 varibel asli tadi, dengan catatan informasi yang hilang
minimal. Bisa pula beberapa variable diwakili factor, sementara variable yang lainnya tetap dalam bentuk aslinya. Dalam banyak penelitian, kita tidak tahu variable-variabel mana yang bisa ditautkan sebelum melakukan analisis factor.

Mendeteksi Struktur Hubungan Antar Variabel

Analisis factor dapat digunakan untuk mengidentifikasi struktur hubungan antar variabel ataupun antar responden. Dengan melihat korelasi antar variable kita bisa mengetahui dimensi-dimensi laten lain yang mendasari. Misalkan, kita memiliki variable pekerjaan, pendapatan, dan kekayaan dapat disatukan menjadi dimensi “Kelas Sosial”. Namun, tidak selalu mudah untuk menemukan dimensi - dimensi laten kalau belum ada teori yang melandasinya. Analisis factor dapat membantu kita untuk menemukan dimensi-dimensi yang mendasari sejumlah variable.


Untuk lebih detail dapat didownload gratis => klik disini (via Sharecash) or klik disini (via Ziddu)

Read More..

Simbol-simbol dalam Statistika

Minggu, Mei 17, 2009

Berikut kami tampilkan simbol-simbol statistik yang sering digunakan dalam Statistika, sbb :


Untuk lebih detail => klik disini (via Sharecash) or klik disini (via Ziddu)


Read More..

Tabel koordinat Y pada distribusi Normal

Berikut kami sampaikan tabel koordinat Y pada distribusi Normal.

Dapat di download gratis => klik disini


Read More..

Tabel t - Student

Berikut kami sampaikan tabel t - Student yaitu tabel untuk distribusi Student.

Dapat didownload gratis => klik disini (via Sharecash) or klik disini (via Ziddu)




Read More..

Tabel z

Berikut kami sampaikan tabel z yaitu luas dibawah kurva distribusi normal.

Dapat didownload gratis => Klik di sini ;)




Read More..

Mind Map

Sabtu, Mei 09, 2009

Apa itu Mind Map?

Mind Map adalah cara mengembangkan kegiatan berpikir ke segala arah, menangkap berbagai pikiran dalam berbagai sudut. Mind Map mengembangkan cara pikir divergen, berpikir kreatif.

Mind Map adalah alat berpikir organisasional yang sangat hebat. Mind Map dapat diistilahkan sebagai “Pisau Tentara Swiss Otak.” Mind Map adalah cara termudah untuk menempatkan informasi ke dalam otak dan mengambil informasi itu ketika dibutuhkan.




Untuk lebih detail => klik disini


Read More..

Pengetahuan Dasar Regresi Linear Sederhana

Sering dalam kegiatan sehari-hari, orang diminta untuk memecahkan persoalan yang menyangkut sekelompok variable, dan diketahui diantara variable tersebut terdapat suatu hubungan dasar yang tidak terpisahkan. Misalnya, dalam industri diketahui bahwa kadar suatu zat hasil suatu proses kimia berkaitan dengan temperature masukan. Sehingga mungkin perlu dikembangkan suatu metode peramalan, yaitu metode untuk menaksir kadar suatu zat untuk berbagai taraf temperature masukan yang didapat dari data percobaan.

Oleh karena itu jika kita memiliki data yang memiliki dua atau lebih variable, adalah sewajarnya untuk mempelajari cara bagaimana variable-variabel tersebut berhubungan. Hubungan yang didapat biasanya dinyatakan dalam bentuk persamaan matematik yang menyatakan hubungan fungsional antara variable-variable.




Untuk lebih detail => klik disini (via Sharecash) or klik disini (via Ziddu)


Read More..

Stratified Random Sampling (StRS)

Di dalam suatu penelitian seringkali kita berhadapan dengan populasi yang keadaannya relative heterogen. Hal ini menyebabkan diperlukan ukuran sample yang besar apabila ingin dicapai presisi tertentu. Oleh karena itu untuk meninggikan presisi dan untuk mengecilkan ukuran sample maka peneliti harus membentuk sub-sub populasi yang keadaan variable-nya relative homogen. Sub-sub populasi tersebut dapat diperoleh melalui stratifikasi.

Langkah Kerja :

(1) Tentukan populasi sasaran secara tegas.
(2) Tentukan ukuran populasi secara tegas (N).
(3) Berdasarkan kriteria tertentu populasi dibagi-bagi ke dalam L-buah Stratum
(4) Untuk setiap stratum dibentuk satuan sampling dan susun kerangka sampling.
(5) Tentukan ukuran sample secara keseluruhan (overall sample size n).
(6) Ukuran sample sebesar n selanjutnya dialokasikan ke seluruh strata (sample allocation).

Untuk lebih detail => klik disini


Read More..

Cluster Random Sampling (CRS)

Sebagaimana telah kita ketahui, satuan sampling dapat berupa “individu” yang berdiri sendiri atau “kelompok individu”, sebab satuan sampling dibentuk atau ditentukan sesuai dengan tipe sampling yang akan digunakan.

Contoh :
Apabila seorang peneliti ingin memeriksa :
- Tiap-tiap batang rokok, maka satuan sampling adalah batang rokok.
- Jika yang akan diteliti keadaan bungkus rokok, maka satuan sampling adalah bungkus rokok.
- Jika yang akan diteliti slove-slove rokok, maka satuan sampling adalah slove rokok.
Jadi dalam satuan sampling dapat terdiri dari banyak satuan sampling yang lebih kecil. Satuan sampling yang di dalamnya berisi satuan-satuan sampling yang lebih kecil disebut cluster.

Untuk lebih detail => klik disini (via Sharecash) or klik disini (via Ziddu)



Read More..

Method of Paired Comparison (Thurstone)

Sabtu, April 18, 2009

Metode ini merupakan salah satu metode pengukuran sikap. Kegunaan metode ini semacam pembobotan untuk menggambarkan relative importance/kepentingan relatif beberapa objek yaitu semacam pembobotan yang menggambarkan kepentingan relative beberapa objek.



Contoh :
Peneliti ingin mengukur tingkat sosial ekonomi masyarakat yang terdiri dari lima dimensi, yaitu A, B, C, D, dan E. Yang menjadi permasalahan yaitu bagaimana kita menentukan relative importance untuk dimensi-dimensi tersebut.

Untuk lebih detail => klik disini (via Sharecash) or klik disini (via Ziddu)

Read More..

Likert's Summated Rating

Dalam pengukuran sikap biasanya menggunakan alat ukur yaitu kuesioner, salah satu metode yg paling banyak digunakan dalam kuesioner yaitu Likert's Summated Rating. Berikut ini akan dijelaskan metode tersbut.



Metode ini merupakan salah satu yang paling banyak digunakan karena kesederhanaannya.

Langkah Kerja
a. Tentukan secara tegas sikap terhadap topik apa yang akan diukur.
Contohnya : Sikap masyarakat terhadap emansipasi wanita.

b. Tentukan dimensi yang menyusun sikap tersebut. Dimensi terdiri dari : cognitive (tahu atau tidak tahu), affective (perasaan terhadap sesuatu), conative (sikap untuk bertingkah laku)

c. Susun pernyataan atau item yang merupakan alat untuk pengukur dimensi yang menyusun sikap yang akan diukur sesuai dengan indikator. Item-item ini harus terdiri dari item positif (yang mendukung topik) dan item negatif (yang tidak mendukung topik) yang letaknya dalam kuesioner acak. Tidak boleh ada item netral.

d. Setiap item diberi pilihan respon yang sifatnya tertutup, banyaknya pilihan respon biasanya 3, 5, 7, 9, dan 11. Dalam praktek yang paling banyak digunakan adalah 5 karena bila respon jawaban terlalu sedikit hasilnya akan kasar dan bila terlalu banyak responden sulit untuk membedakan.
e. Untuk setiap pilihan respon jawaban item diberi skor berdasarkan kriteria sebagai berikut : apabila item positif angka terbesar pada “ sangat setuju” dan jika negatif angka terbesar pada “ sangat tidak setuju” . Skor yang diberikan pada jawaban dijumlahkan oleh karena itu disebut “ Likert’ s Summated Ratings” .

Untuk lebih jelasnya => klik di sini (via Sharecash) or klik disini (via Ziddu)

Read More..

PENYIMPANGAN ASUMSI MODEL REGRESI KLASIK

Rabu, April 01, 2009

Penyimpangan-penyimpangan yang sering terjadi, sbb :

1. Rata-rata kekeliruan tidak sama dengan nol akibatnya diperoleh taksiran yang bias
2. Terdapat heterogen atau heteroskedastisitas. Akibatnya tiap pengamatan mempunyai reliabilitas yang berbeda-beda.
3. Adanya autokorelasi artinya adanya korelasi antar gangguan
4. Adanya multikolinearitas artinya adanya hubungan Linear yang sempurna diantara beberapa atau semua variabel yang menjelaskan model regresi.



Untuk mengetahui bagaimana cara mendeteksinya dapat diklik di sini

Read More..

Pengantar LISREL

Senin, Maret 30, 2009

Pengetahuan dasar tentang bagaimana membentuk suatu model dalam lisrel, semoga dapat memberi sedikit gambaran mengenai Lisrel.




Notasi

Model LISREL dapat dijabarkan dalam bentuk delapan buah matriks, sbb :
- 2 mendefinisikan persamaan struktural,
- 2 mendefinisikan indikator atau konstruk ,
- 1 menyatakan korelasi dari konstruk variabel eksogen,
- 3 mendefinisikan error pengukuran persamaan terstruktur dan variabel endogen serta eksogen.

Notasi matriks selengkapnya dapat dilihat pada tabel sbb :

Tabel 1. Matriks dalam model LISREL


Subskrip pada tabel 1 mempunyai arti sebagai berikut :
m = jumlah konstruk eksogen
n = jumlah konstruk endogen
p = jumlah indikator konstruk eksogen
q = jumlah indikator konstruk endogen

Notasi konstruk serta variabel indikatornya pada tabel 1 adalah sebagai berikut :
ξ = konstruk eksogen
η = konstruk endogen
X = indikator dari konstruk eksogen
Y = indikator dari konstruk endogen

Contoh aplikasi :

Model LISREL sebagai berikut, misalkan terdapat 3 variabel endogen (Y) dan 3 variabel eksogen (X), Model diagram jalurnya adalah seperti gambar di bawah ini :


Gambar 1. Diagram jalur yang menyatakan hubungan kausal


Dari Diagram Jalur Kepada Notasi LISREL

1. Membentuk Persamaan Struktural dari Diagram Jalur
Langkah pertama adalah untuk menterjemahkan diagram jalur ke dalam persamaan struktural untuk setiap variabel endogen. Persamaannya sebagai berikut.



2. Menotasikan Indikator-Indikator dan Konstruk
Apabila persamaan struktral telah ditetapkan, pengukuran untuk tiap konstruk harus didefinisikan. Pada contoh di atas, setiap konstruk memiliki 2 indikator , seperti terlihat pada tabel berikut :

Tabel 2. Konstruk dan Indikatornya



3. Menentukan Model Persamaan Struktural dan Model Pengukuran LISREL
Berdasarkan diagram jalur dan indikator dari konstruk, maka dapat ditentukan persamaan baikbagi model struktural juga bagi model pengukuran.

Tabel 3. Model Persamaan Struktural



Berdasarkan indikator-indikator dari konstruk eksogen dan endogen, maka dapat dibentuk persamaan model pengukuran seperti berikut :

Tabel 4. Persamaan Model Pengukuran



4. Menentukan Korelasi Persamaan Struktural
Pada diagram jalur terdapat 2 korelasi matriks, yaitu Phi matriks yang menyatakan korelasi antar konstruk eksogen, yaitu konstruk 1-2. Pada konstruks endogen terdapat korelasi antara konstruks 1 dan 3, dinyatakan dengan matriks Psi.

Tabel 5. Matriks Korelasi Konstruks Eksogen (Φ)



Tabel 6. Matriks Korelasi Konstruks Endogen (Ψ)



5. Korelasi pada Indikator Model Pengukuran
Pada pembentukan model, antara indikator variabel dapat saja terjadi korelasi. Namun korelasi tersebut tidak dapat terjadi antara variabel indikator eksogen dengan endogen. Pada model LISREL contoh di atas, misalkan ditentukan terdapat korelasi antara variabel indikator X1 dengan X2, juga antara Y3 dengan Y4.

Tabel 7. Matriks Korelasi Pengukuran Error Indikator Eksogen (Theta-delta θδ)



Tabel 8 Matriks Korelasi Pengukuran Error Indikator Endogen (Theta-epsilon θε)



Proses penotasian model untuk keperluan estimasi sudah lengkap. Diagram jalur pada gambar 1, dapat diterjemahkan kedalam model persamaan struktural LISREL pada gambar 2., sbb :

Gambar 2. Notasi LISREL Model Persamaan Struktural



Read More..

Pengetahuan dasar Analisis Jalur / Path Analysis

Sabtu, Maret 28, 2009

Analisis jalur dikembangkan oleh Sewall Wright (1934). Tujuan dari analisis jalur adalah untuk menerangkan akibat langsung dan tidak langsung dari beberapa variabel sebagai variabel penyebab, terhadap beberapa variabel lainnya sebagai variabel akibat.

Untuk lebih jelasnya tentang pengetahuan dasar path analysis atau analisis jalur => Download Lengkap Gratis

Read More..

Trust Rules: The Most Important Secret About Trust

Selasa, Maret 03, 2009

From Susan M. Heathfield,
Your Guide to Human Resources.

What Is Trust?

Trust. You know when you have trust; you know when you don’t have trust. Yet, what is trust and how is trust usefully defined for the workplace? Can you build trust when it doesn’t exist? How do you maintain and build upon the trust you may currently have in your workplace? These are important questions for today’s rapidly changing world.

Trust forms the foundation for effective communication, employee retention, and employee motivation and contribution of discretionary energy, the extra effort that people voluntarily invest in work.

When trust exists in an organization or in a relationship, almost everything else is easier and more comfortable to achieve.

In reading about trust, I was struck by the number of definitions that purportedly describe trust in understandable ways - but don’t.

The Three Constructs of Trust

Tway defines trust as, "the state of readiness for unguarded interaction with someone or something." He developed a model of trust that includes three components.

He calls trust a construct because it is "constructed" of these three components: "the capacity for trusting, the perception of competence, and the perception of intentions."

Thinking about trust as made up of the interaction and existence of these three components makes “trust” easier to understand. The capacity for trusting means that your total life experiences have developed your current capacity and willingness to risk trusting others.

The perception of competence is made up of your perception of your ability and the ability of others with whom you work to perform competently at whatever is needed in your current situation. The perception of intentions, as defined by Tway, is your perception that the actions, words, direction, mission, or decisions are motivated by mutually-serving rather than self-serving motives.

Why Trust Is Critical in a Healthy Organization

How important is building a trusting work environment? According to Tway, people have been interested in trust since Aristotle. Tway states, “Aristotle (384-322 BC), writing in the Rhetoric, suggested that Ethos, the Trust of a speaker by the listener, was based on the listener's perception of three characteristics of the speaker.

"Aristotle believed these three characteristics to be the intelligence of the speaker (correctness of opinions, or competence), the character of the speaker (reliability - a competence factor, and honesty - a measure of intentions), and the goodwill of the speaker (favorable intentions towards the listener).” I don’t think this has changed much even today.

Additional research by Tway and others shows that trust is the basis for much of the environment you want to create in your work place. Trust is the necessary precursor for:
• feeling able to rely upon a person,
• cooperating with and experiencing teamwork with a group,
• taking thoughtful risks, and
• experiencing believable communication.

How to Maintain Trust

The best way to maintain a trusting work environment is to keep from injuring trust in the first place. The integrity of the leadership of the organization is critical.

The truthfulness and transparency of the communication with staff is also a critical factor. The presence of a strong, unifying mission and vision can also promote a trusting environment.

Providing information about the rationale, background, and thought processes behind decisions is another important aspect of maintaining trust. Another is organizational success; people are more apt to trust their competence, contribution, and direction when part of a successful project or organization.

What Injures the Trust Relationship?

Yet, even in an organization in which trust is a priority, things happen daily that can injure trust.

A communication is misunderstood; a customer order is misdirected and no one questions an obvious mistake. The owner of a company that went through a bankruptcy, even though trusted on the “intentions” side of Tway’s trust model, was severely injured in the eyes of the work force, in the “perceived competence” aspects of the model.

In the first aspect of the construct, capacity for trust, even when organizations do their best, many people are unwilling to trust because of their life experiences. In many workplaces, people are taught to mistrust as they are repeatedly misinformed and misled.

Several years ago, I spoke at a conference attended by 400 executive leaders of metalforming corporations. I asked the group how many of them still had fear in their organizations, despite all of their efforts to build trust. Every hand in the room was raised. As a consequence of sessions such as this, I have determined that trust is an issue, to one degree or another, in most organizations.

The Critical Role of the Leader or Supervisor in Trust Relationships

Simon Fraser University assistant professor Kurt Dicks studied the impact of trust in college basketball team success. After surveying the players on 30 teams, he determined that players on successful teams were more likely to trust their coach.

He found these players were more likely to believe that their coach knew what was required for them to win. They believed the coach had their best interests at heart; they believed the coach came through on what he promised. (Something to think about: trust in their teammates was hardly deemed important in the study.)

Del Jones of the Gannett News Service reports that in a March, 2001 Wirthlin Worldwide study of employees, 67 percent said they were committed to their employers. Only 38 percent felt their employers were committed to them.

In another study, by C. Ken Weidner, an assistant professor at the Center for Organization Development at Loyola University Chicago, findings suggest several implications for organizational performance and change.

Weidner found that a manager’s skill in developing relationships that reduce or eliminate distrust, have a positive impact on employee turnover. He feels that turnover may be a result of organizations failing to “draw people in.” He also found that trust in the supervisor is associated with better individual performance.

Specific Trust Relationship Building and Maintaining Steps

You cannot always control the trust you experience in your larger organization, but you can act in ways that promote trust within your immediate work environment. The following are ways to create and preserve a trusting work environment.
• Hire and promote people, who are capable of forming positive, trusting interpersonal relationships with people who report to them, to supervisory positions.
• Develop the skills of all employees and especially those of current supervisors and people desiring promotion, in interpersonal relationship building and effectiveness.
• Keep staff members truthfully informed. Provide as much information as you can comfortably divulge as soon as possible in any situation.
• Expect supervisors to act with integrity and keep commitments.
If you cannot keep a commitment, explain what is happening in the situation without delay. Current behavior and actions are perceived by employees as the basis for predicting future behavior. Supervisors who act as if they are worthy of trust will more likely be followed with fewer complaints.
• Confront hard issues in a timely fashion. If an employee has excessive absences or spends work time wandering around, it is important to confront the employee about these issues. Other employees will watch and trust you more.
• Protect the interest of all employees in a work group. Do not talk about absent employees, nor allow others to place blame, call names, or point fingers.
• Display competence in supervisory and other work tasks. Know what you are talking about, and if you don’t know—admit it.
• Listen with respect and full attention. Exhibit empathy and sensitivity to the needs of staff members.
• Take thoughtful risks to improve service and products for the customer.
• If you are a supervisor or a team member, set high expectations and act as if you believe staff members are capable of living up to them.

The Human Resources professional has a special role in promoting trust. So do line managers. You coach managers and supervisors about all of the appropriate roles described above in building trust relationships.

You also influence the power differentials within the organization by developing and publishing supportive, protective, honorable policies. You are influential in building appropriate social norms among people who are doing different jobs in your organization.

Engage in trust building and team building activities only when there is a sincere desire in your organization to create a trusting, empowering, team-oriented work environment. Engaging in these activities for any but honorable reasons is a travesty and a sham. People will know the difference, or they will find out, and then, they will never trust you.

Build a Trust Relationship Over Time

Trust is built and maintained by many small actions over time. Marsha Sinetar, the author, said, “Trust is not a matter of technique, but of character; we are trusted because of our way of being, not because of our polished exteriors or our expertly crafted communications.”

So fundamentally, trust, and here is the secret I promised in the title of this article, is the cornerstone, the foundation, for everything you'd like your organization to be now and for everything you'd like it to become in the future. Lay this groundwork well.

Trust is telling the truth, even when it is difficult, and being truthful, authentic, and trustworthy in your dealings with customers and staff. Can profoundly-rewarding, mission-serving, life- and work-enhancing actions get any simpler than this? Not likely.

Read More..

How to Change Your Culture: Organizational Culture Change

From Susan M. Heathfield,
Your Guide to Human Resources.

Changing your organizational culture is the toughest task you will ever take on. Your organizational culture was formed over years of interaction between the participants in the organization. can feel like rolling rocks uphill.

Organizational cultures form for a reason. Perhaps the current organizational culture matches the style and comfort zone of the company founder. Culture frequently echoes the prevailing management style. Since managers tend to hire people just like themselves, the established organizational culture is reinforced by new hires.

Organizational culture grows over time. People are comfortable with the current organizational culture. For people to consider culture change, usually a significant event must occur.

An event that rocks their world such as flirting with bankruptcy, a significant loss of sales and customers, or losing a million dollars, might get people's attention.

Even then, to recognize that the organizational culture is the culprit and to take steps to change it, is a tough journey. In no way do I mean to trivialize the difficulty of the experience of organizational culture change by summarizing it in this article, but here are my best ideas about culture change that can help your organization grow and transform.

When people in an organization realize and recognize that their current organizational culture needs to transform to support the organization's success and progress, change can occur. But change is not pretty and change is not easy.

The good news? Organizational culture change is possible. Culture change requires understanding, commitment, and tools.

Steps in Organizational Culture Change

There are three major steps involved in changing an organization's culture.
1. My earlier article discusses How to Understand Your Current Culture. Before an organization can change its culture, it must first understand the current culture, or the way things are now. Do take the time to pursue the activities in this article before moving on to the next steps.
2. Once you understand your current organizational culture, your organization must then , and decide what the organizational culture should look like to support success. What vision does the organization have for its future and how must the culture change to support the accomplishment of that vision?
3. Finally, the individuals in the organization must decide to change their behavior to create the desired organizational culture. This is the hardest step in culture change.

Plan the Desired Organizational Culture

The organization must plan where it wants to go before trying to make any changes in the organizational culture. With a clear picture of where the organization is currently, the organization can plan where it wants to be next.

Mission, vision, and values: to provide a framework for the assessment and evaluation of the current organizational culture, your organization needs to develop a picture of its desired future.

What does the organization want to create for the future? Mission, vision, and values should be examined for both the strategic and the value based components of the organization.

Your management team needs to answer questions such as:
• What are the five most important values you would like to see represented in your organizational culture?
• Are these values compatible with your current organizational culture? Do they exist now? If not, why not? If they are so important, why are you not attaining these values?
See the first necessary components for organizational culture change. Next, you ask:
• What needs to happen to create the culture desired by the organization? You cannot change the organizational culture without knowing where your organization wants to be or what elements of the current organizational culture need to change.

What cultural elements support the success of your organization, or not? As an example, your team decides that you spend too much time agreeing with each other rather than challenging the forecasts and assumptions of fellow team members, that typically have been incorrect.

In a second example, your key management team members, who must lead the company, spend most of their time team building with various members of the team on an individual basis, and to promote individual agendas, to the detriment of the cohesive functioning of the whole group.

Third, your company employees appear to make a decision, but, in truth, are waiting for the "blessing" from the company owner or founder to actually move forward with the plan.

In each of these situations, components of the organizational culture will keep your organization from moving forward with the success you deserve. You need to consciously identify the cultural impediments and decide to change them.

However, knowing what the desired organizational culture looks like is not enough. Organizations must create plans to ensure that the desired organizational culture becomes a reality.

Change the Organizational Culture

It is more difficult to change the culture of an existing organization than to create a culture in a brand new organization. When an organizational culture is already established, people must unlearn the old values, assumptions, and behaviors before they can learn the new ones.

The two most important elements for creating organizational cultural change are executive support and training.
• Executive support: Executives in the organization must support the cultural change, and in ways beyond verbal support. They must show behavioral support for the cultural change. Executives must lead the change by changing their own behaviors. It is extremely important for executives to consistently support the change.
• Training: Culture change depends on behavior change. Members of the organization must clearly understand what is expected of them, and must know how to actually do the new behaviors, once they have been defined. Training can be very useful in both communicating expectations and teaching new behaviors.

Additional Ways to Change the Organizational Culture

Other components important in changing the culture of an organization are:
• Create value and belief statements: use employee focus groups, by department, to put the mission, vision, and values into words that state their impact on each employee's job. For one job, the employee stated: "I live the value of quality patient care by listening attentively whenever a patient speaks." This exercise gives all employees a common understanding of the desired culture that actually reflects the actions they must commit to on their jobs.
• Practice effective communication: keeping all employees informed about the organizational culture change process ensures commitment and success. Telling employees what is expected of them is critical for effective organizational culture change.
• Review organizational structure: changing the physical structure of the company to align it with the desired organizational culture may be necessary. As an example, in a small company, four distinct business units competing for product, customers, and internal support resources, may not support the creation of an effective organizational culture. These units are unlikely to align to support the overall success of the business.
• Redesign your approach to rewards and recognition: you will likely need to change the reward system to encourage the behaviors vital to the desired organizational culture.
• Review all work systems such as employee promotions, pay practices, performance management, and employee selection to make sure they are aligned with the desired culture. As an example, you cannot just reward individual performance if the requirements of your organizational culture specify team work. An executive's total bonus cannot reward the accomplishment of his department's goals without recognizing the importance of him playing well with others on the executive team to accomplish your organizational goals.

You can change your organizational culture to support the accomplishment of your business goals. Changing the organizational culture requires time, commitment, planning and proper execution - but it can be done.

Read More..

How to Understand Your Current Culture

From Susan M. Heathfield,
Your Guide to Human Resources.

Are you ready to take a look at the culture that exists in your organization? Your assessment of your culture may make you happy; your assessment may make you sad. Whatever your culture assessment teaches you about your culture, though, your culture is what it is. To change your culture, to enhance your culture, to benefit from your culture, you need to see and understand your culture. Take the first step.

It is difficult for people to assess and understand their own culture. When people are at work on a daily basis, many of the manifestations of culture become almost invisible. Assessing your organizational culture is a lot like trying to tell someone how to tie their shoes. Once you've been tying your own shoes every day for years and years, it is hard to describe the process to another person.

How to Observe Your Current Organizational Culture

You can obtain a picture of your current organizational culture in several ways.
To participate in the assessment of your organizational culture, you must:
• Try to be an impartial observer of your culture in action. Look at the employees and their interaction in your organization with the eye of an outsider. Pretend you are an anthropologist observing a group that you have never seen before.
• Watch for emotions. Emotions are indications of values. People do not get excited or upset about things that are unimportant to them. Examine conflicts closely, for the same reason.
• Look at the objects and artifacts that sit on desks and hang on walls. Observe common areas and furniture arrangements.
• When you observe and interact with employees, watch for things that are not there. If nobody mentions something that you think is important (like the customers), that is interesting information. It will help you understand your organization's culture.

Assess Your Organizational Culture

You can assess your current organizational culture in several ways.
Participate in a Culture Walk: One way to observe the culture in your organization is to take a walk around the building, and look at some of the physical signs of culture.
• How is the space allocated? Where are the offices located?
• How much space is given to whom? Where are people located?
• What is posted on bulletin boards or displayed on walls?
• What is displayed on desks or in other areas of the building? In the work groups? On lockers or closets?
• How are common areas utilized?
• What do people write to one another? What is said in memos or email? What is the tone of messages (formal or informal, pleasant or hostile, etc.)? How often do people communicate with one another? Is all communication written, or do people communicate verbally?
• What interaction between employees do you see? How much empotion is expressed during the interaction?

These are just a few of the questions to answer when you observe and assess your organizational culture. Take a culture walk frequently to observe organizational culture in action.

Culture Interviews: Another way to understand the culture of your organization is to interview your employees in small groups. It is just as important, during these interviews, to observe the behaviors and interaction patterns of people as it is to hear what they say about the culture.

Since it is usually difficult for people to put into words what the culture is like, indirect questions will gain the most information. The following are examples of indirect questions you can ask during a culture interview.

• What would you tell a friend about your organization if he or she was about to start working here?
• What is the one thing you would most like to change about this organization?
• Who is a hero around here? Why?
• What is your favorite characteristic that is present in your company?
• What kinds of people fail in your organization?
• What is your favorite question to ask a candidate for a job in your company?

Culture Surveys: Written surveys taken by people in the organization can also provide information about the organizational culture. It is important to create or select the survey using the information collected during the culture walk and the culture interviews.

You can either purchase or custom design a survey. An off-the-shelf survey may have interesting questions on it; it may also have questions which are not relevant to your organization. It has been used in a number of other organizations, though, so the questions may be reliable and validated.

These are ways in which you can observe and understand your organizational culture. The results of your assessment of your organizational culture will tell you what to do more of, less of, stop, or start.

The results from your organizational culture assessment will either confirm the efficacy of the culture you have or provide the encouragement you need to change your organizational culture.

Read More..

Six More Characteristics of Culture

From Susan M. Heathfield,
Your Guide to Human Resources.

People Shape the Culture. Personalities and experiences of employees create the culture of an organization. For example, if most of the people in an organization are very outgoing, the culture is likely to be open and sociable. If many artifacts depicting the company’s history and values are in evidence throughout the company, people value their history and culture. If doors are open, and few closed door meetings are held, the culture is unguarded. If negativity about supervision and the company is widespread and complained about by employees, a culture of negativity, that is difficult to overcome, will take hold.

Culture is Negotiated. One person cannot create a culture alone. Employees must try to change the direction, the work environment, the way work is performed, or the manner in which decisions are made within the general norms of the workplace.

Culture change is a process of give and take by all members of an organization. Formalizing strategic direction, systems development, and establishing measurements must be owned by the group responsible for them. Otherwise, employees will not own them.

Culture is Difficult to Change. Culture change requires people to change their behaviors. It is often difficult for people to unlearn their old way of doing things, and to start performing the new behaviors consistently. Persistence, discipline, employee involvement, kindness and understanding, organization development work, and training can assist you to change a culture.

More Characteristics of Culture

Your work culture is often interpreted differently by diverse employees. Other events in people’s lives affect how they act and interact at work too. Although an organization has a common culture, each person may see that culture from a different perspective. Additionally, your employees’ individual work experiences, departments, and teams may view the culture differently.

Your culture may be strong or weak. When your work culture is strong, most people in the group agree on the culture. When your work culture is weak, people do not agree on the culture. Sometimes a weak organizational culture can be the result of many subcultures, or the shared values, assumptions, and behaviors of a subset of the organization.

For example, the culture of your company as a whole might be weak and very difficult to characterize because there are so many subcultures. Each department or work cell may have its own culture. Within departments, the staff and managers may each have their own culture.

Ideally, organizational culture supports a positive, productive, environment. Happy employees are not necessarily productive employees. Productive employees are not necessarily happy employees. It is important to find aspects of the culture that will support each of these qualities for your employees.

Now that you are familiar with this visualization of organizational culture, you will want to explore additional aspects of organizational culture and cultural change. In this way, the concept of culture will become useful to the success and profitability of your

Read More..

Central Concepts about Culture

From Susan M. Heathfield,
Your Guide to Human Resources.

Professors Ken Thompson (DePaul University) and Fred Luthans (University of Nebraska) highlight the following seven characteristics of culture through my interpretive lens.

Culture = Behavior. Culture is a word used to describe the behaviors that represent the general operating norms in your environment. Culture is not usually defined as good or bad, although aspects of your culture likely support your progress and success and other aspects impede your progress.

A norm of accountability will help make your organization successful. A norm of spectacular customer service will sell your products and engage your employees. Tolerating poor performance or exhibiting a lack of discipline to maintain established processes and systems will impede your success.

Culture is Learned. People learn to perform certain behaviors through either the rewards or negative consequences that follow their behavior. When a behavior is rewarded, it is repeated and the association eventually becomes part of the culture. A simple thank you from an executive for work performed in a particular manner, molds the culture.

Culture is Learned Through Interaction. Employees learn culture by interacting with other employees. Most behaviors and rewards in organizations involve other employees. An applicant experiences a sense of your culture, and his or her fit within your culture, during the interview process. An initial opinion of your culture can be formed as early as the first phone call from the Human Resources department.

Sub-cultures Form Through Rewards. Employees have many different wants and needs. Sometimes employees value rewards that are not associated with the behaviors desired by managers for the overall company. This is often how subcultures are formed, as people get social rewards from coworkers or have their most important needs met in their departments or project teams.

Read More..

What Is Organizational Culture?

From Susan M. Heathfield,
Your Guide to Human Resources.

People in every workplace talk about organizational culture, that mysterious word that characterizes a work environment. One of the key questions and assessments, when employers interview a prospective employee, explores whether the candidate is a good “cultural fit.” Culture is difficult to define, but you generally know when you have found an employee who appears to fit your culture. He just "feels" right.

Culture is the environment that surrounds you at work all of the time. Culture is a powerful element that shapes your work enjoyment, your work relationships, and your work processes. But, culture is something that you cannot actually see, except through its physical manifestations in your work place.

In many ways, culture is like personality. In a person, the personality is made up of the values, beliefs, underlying assumptions, interests, experiences, upbringing, and habits that create a person’s behavior.

Culture is made up of the values, beliefs, underlying assumptions, attitudes, and behaviors shared by a group of people. Culture is the behavior that results when a group arrives at a set of - generally unspoken and unwritten - rules for working together.

An organization’s culture is made up of all of the life experiences each employee brings to the organization.

Culture is represented in a group’s:
• language,
• decision making,
• symbols,
• stories and legends, and
• daily work practices.

Something as simple as the objects chosen to grace a desk tell you a lot about how employees view and participate in your organization’s culture. Your bulletin board content, the company newsletter, the interaction of employees in meetings, and the way in which people collaborate, speak volumes about your organizational culture.

Read More..

Berteman Dengan Stres

Pada saat kita sedang stres, tubuh kita secara otomatis akan menghasilkan hormon adrenalin dan cortisol. Kedua hormon tersebut akan mengakibatkan jantung

Hampir semua orang pasti sudah mengalami keadaan yang disebut stres. Tidak hanya peristiwa buruk yang bisa menyebabkan stres. Semua perubahan yang berhubungan dengan fisik dan psikis seseorang dapat menyebabkan stres.

Anda stres? Jangan kuatir karena sebenarnya, stres adalah akumulasi dari reaksi tubuh terhadap situasi atau lingkungan sekitar yang tampak berbahaya atau sulit. Stres membuat tubuh memproduksi hormon adrenalin yang berfungsi untuk mempertahankan diri. Jadi, sebenarnya stres merupakan reaksi tubuh yang alami, hampir sama dengan reaksi spontan tubuh lain, seperti reaksi tubuh saat menghindar dari panas, misalnya.

Stres dibedakan menjadi dua macam, yaitu stres ringan (good stress) dan stres berat (bad stress). Stres yang ringan berguna karena dapat memacu seseorang untuk berpikir dan berusaha lebih tangguh menghadapi tantangan hidup. Sebaliknya, stres yang berat dan berkelanjutan, akan berbahaya bila tidak ditanggulangi. Tidak hanya berpengaruh pada psikis, tetapi stres juga akan memengaruhi kesehatan.

Stres Bermula dari Kondisi Psikis

Banyak sekali hal yang dapat menyebabkan stres. Semua hal itu dapat menyebabkan tekanan pada pikiran yang akhirnya berbuah stres. Jadi, sebenarnya stres lebih bermula dari keadaan psikis seseorang.

Pada saat kita sedang stres, tubuh kita secara otomatis akan menghasilkan hormon adrenalin dan cortisol. Kedua hormon tersebut akan mengakibatkan jantung berdetak secara lebih cepat daripada pada keadaan normal. Darahpun akan mengalir dengan lebih cepat. Keadaan ini tentu menguras tenaga karena kadar gula dalam darah akan terkuras cepat. Otot pun menjadi tegang, terutama otot di sekitar mata dan kepala.

Keadaan itu juga akan memengaruhi peringai seseorang. Orang menjadi menjadi mudah tersinggung, cepat marah, agresif, dan cenderung berlebihan defensif. Karena kadar adrenalin makin tinggi, kadar gula dalam darah pun semakin naik. Hal tersebut membuat kebutuhan akan zat gula makin tinggi. Jika tidak terpenuhi, maka orang akan mudah lelah, sukar berkonsentrasi, jantung sering berdebar-debar. Selain itu, tanda yang paling sering menyertai stres adalah sakit kepala dan gangguan pencernaan. Jika kita membiarkan keadaan ini berlarut-larut, maka sistem metabolisme tubuh akan terganggu. Selain memperparah kondisi kesehatan orang yang sedang sakit, stres juga dapat mengakibatkan daya tahan tubuh kita menurun. Tidak mengheran jika banyak komplikasi penyakit yang salah satunya disebabkan oleh stres.

Tip Mengendalikan Stres

Stres tidak bisa diobati. Beberapa dokter terkadang hanya memberi obat penenang sejenis chlordiazepoksida, diazepam, dan nipam, jika penderita mulai mengalami gangguan mental dan tidak bisa tidur. Jenis obat-obatan tersebut sekedar mengurangi intensitas detak jantung, mengendorkan otot tegang, dan mengurangi ketegangan syaraf. Nah, cara yang paling tepat adalah dengan “berteman” dengan stres. Ada beberapa hal yang bisa diperhatikan agar kita dapat terhindar dari stres atau setidaknya, mengurangi akibat stres.

• Temukan penyebab perasaan negatif dan belajar untuk menanggulanginya. Jangan memperberat masalah dan coba untuk sekali-kali mengalah terhadap orang lain.
• Pandanglah permasalahan hidup secara positif.
• Bersikaplah realistis terhadap kemampuan diri dan jangan terlalu terforsir dalam melakukan sesuatu.
• Buatlah daftar prioritas pekerjaan yang mesti dikerjakan.
• Sedikitlah bersikap terbuka dengan men-sharing-kan permasalahan Anda dengan orang yang Anda percaya.
• Jaga kesehatan dengan makan yang baik, tidur cukup, dan latihan olahraga secara teratur.
• Luangkan waktu untuk berekreasi.
• Ada baiknya Anda mencoba metode meditasi dengan teknik pernafasan untuk sedikit memberi kelegaan.
• Menangis dipercaya sebagai salah satu obat stres karena dengan menangis, hasil reaksi kimia dalam tubuh dapat keluar. Menangis juga dipercaya dapat mengendorkan otot-otot di sekitar kepala.

Tekanan hidup memang tidak akan pernah berhenti. Kualitas pribadi seseorang menjadi tampak saat bagaimana dia menghadapi permasalahan dan menangani stres. Satu yang tidak bisa dilupakan adalah faktor keimanan kita pada penyelenggaran Tuhan. Berserah pada kehendak Tuhan adalah sikap dasar dalam menghadapi stres.

Read More..

Thanx To

Kepada mereka yang meninggalkanku seorang diri, terima kasih.
Tanpa mereka, aku tidak akan pernah menemukan diriku sendiri.

Kepada mereka yang selalu mencelaku, terima kasih.
Tanpa mereka, aku tidak pernah memperbaiki kesalahanku.

Kepada mereka yang selalu menghakimiku, terima kasih.
Dari mereka, aku belajar melihat orang lain tidak hanya dari penampilan luar saja.

Kepada mereka yang menganggapku lemah dan tak berdaya, terima kasih.
Dari mereka, aku bisa belajar untuk selalu berharap kepada TUHAN.

Kepada mereka yang telah mentertawakanku, terima kasih.
Tanpa mereka, aku tidak pernah belajar untuk intropeksi diri.

Kepada mereka yang telah menyakitiku, terima kasih.
Tanpa mereka, aku tidak akan pernah belajar mengampuni.

Kepada mereka yang telah mengecewakanku, terima kasih.
Tanpa mereka, aku tidak pernah bisa belajar memahami orang lain.

Kepada mereka yang berpikir bahwa aku tidak dapat melakukan sesuatu, terima kasih.
Karena tanpa mereka, aku tidak akan pernah mencoba sesuatu yang baru ataupun sikap baru

Read More..

Kiat Memilih Bisnis MLM

Kamis, Januari 15, 2009

Multi Level Marketing atau MLM belakangan ini memang banyak dijadikan sebagai salah satu alternatif dalam mencari penghasilan tambahan. Apakah anda salah satunya? Intip kiat ini untuk panduan Anda berbisnis!

Banyak ibu rumah tangga yang memanfaatkan waktu luangnya dirumah untuk berbisnis MLM. Bahkan ada, lho, yang menjadikan bisnis MLM sebagai penghasilan utamanya. Tapi semua itu bisa terjadi jika sudah sukses pada level tertentu dari jaringan MLM yang diikuti.

Sebenarnya MLM itu apa sih? MLM adalah sebuah bisnis pemasaran atas suatu produk yang dilakukan melalui banyak tingkatan atau level, yang sering disebut dengan up-line (tingkat atas) dan down-line (tingkat bawah). Gampangnya sih, sistem pemasaran dan penjualan atas suatu produk dengan menggunakan sistem jaringan atau networking. Up-line diharuskan untuk mencari down-line sebanyak-banyaknya agar mendapatkan bonus yang berlipat.

Di Indonesia, bisnis MLM makin berkembang dengan pesat dari tahun ke tahun yang menunjukkan bisnis ini mempunyai prospek yang cukup cerah di Indonesia. Alasannya, makin berkembangnya naluri wirausaha saat ini membuat orang berlomba-lomba bekerja keras untuk masa depan yang lebih baik. Kemudian budaya persahabatan dan networking di Indonesia memungkinkan bisnis MLM yang tumbuh dari jaringan dapat berkembang pesat. Faktor pendukung lain di tengah jumlah pengangguran di Indonesia yang semakin membengkak, maka bisnis MLM ini bisa menjadi solusi karena mampu menciptakan kesempatan kerja yang luas.

Uniknya, bisnis MLM tidak seperti bisnis lainya yang membutuhkan modal yang besar dan kemampuan yang tinggi. Setiap orang dari latar belakang apapun dapat menjalankan bisnis ini. Karena suatu manajemen yang mengelola MLM biasanya akan memberikan tambahan pengetahuan bagi anggotanya, baik itu berupa seminar maupun pelatihan langsung mengenai teknik-teknik pemasaran untuk menjalankan bisnis tersebut.

Lalu perusahaan MLM yang manakah yang sebaiknya kita pilih? Berikut tips khusus untuk Anda :

1. Perusahaan MLM yang dipilih sebaiknya yang tergabung dalam APLI (Asosiasi Penjual Langsung Indonesia). APLI adalah sebuah asosiasi yang mewadahi berbagai perusahaan MLM. Belum bakunya aturan hukum di Indonesia dalam mengatur penjualan langsung juga mendorong kebutuhan di antara perusahaan MLM menciptakan bersama aturan dan kode etik yang disepakati bersama. Perusahaan yang ingin bergabung dengan APLI harus memenuhi sejumlah persyaratan dan mendapat sertifikasi.

Mereka yang yang menjadi anggota APLI hanyalah perusahaan yang dianggap betul-betul memenuhi syarat sebagai perusahaan penjual langsung. Karena itulah, lewat APLI kita juga bisa mengenali mana perusahaan yang MLM dan yang bukan. Maklum, saat ini juga ada banyak perusahaan yang bukan MLM namun ikut mengaku-ngaku sebagai MLM untuk menarik dana dari masyarakat. Hati-hati lho akan hal ini.

2. Bila Anda ingin memiliki pelanggan tetap, maka pilihlah perusahaan yang tidak hanya menawarkan barang dan jasa yang seragam, tapi pilihlah yang memiliki aneka ragam barang dan jasa untuk ditawarkan. Dan yang terpenting memiliki jaminan atas kualitas barang dan jasa yang dijualnya, agar bisa ditukar apabila tidak sesuai dengan kualitas yang sebenarnya.

3. Pilihlah perusahaan yang para distributornya memiliki sistem keberhasilan untuk bisa sukses, di mana sistem tersebut sebaiknya harus sudah teruji dan terbukti mampu mencetak banyak orang menjadi berhasil. Idealnya, sistem tersebut hendaknya bisa dijalankan oleh orang dari berbagai macam latar belakang usia, pekerjaan, pendidikan, jenis kelamin, bahkan oleh mereka yang tidak pernah berbisnis sama sekali. Sistem yang baik biasanya juga menyediakan alat-alat bantu usaha seperti buku-buku kepribadian, kaset-kaset yang memberikan motivasi dan teknik, serta pertemuan-pertemuan yang bisa dihadiri. Jika ada perusahaan MLM yang menawarkan janji manis hasil besar tanpa harus kerja keras, sebaiknya Anda tinggalkan saja.

4. Nah yang terakhir, untuk menunjukkan suatu perusahaan MLM bonafid atau tidak adalah minimal dengan melihat apakah perusahaan tersebut di terima secara nasional sistem bisnisnya. Biasanya mereka juga akan mengutarakan visi-misinya bagi kesejahteraan perusahaan dan jaringan distributornya.

Dengan demikan, harapan saya, penjelasan diatas dapat dijadikan acuan bagi Anda yang berminat untuk menjadikan bisnis MLM sebagai sarana untuk mencari penghasilan tambahan. Dah sebagai tambahan, kunci kesuksesan bisnis MLM adalah konsisten. Karena bisnis MLM dibangun dengan jaringan. Dan jaringan itu hanya akan terbangun jika terus-menerus dibentuk. Jika Anda tinggalkan di tengah jalan, mungkin Anda harus mulai dari awal lagi untuk membangunnya kembali.

Source : Kompas.com


Read More..